Soal Pagar Laut di Tangerang, Rocky Gerung Sebut Akibat Kurangnya Koordinasi Antar Instansi Pemerintah
JAKARTA, KepoinAja79.Com – Kasus pagar laut di Tangerang, Banten, dinilai akibat kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah.
Demikian disampaikan pengamat politik, Rocky Gerung saat diskusi yang digelar Kaukus Nusantara Bersatu bertajuk “Arah Indonesia ke Depan” di Jakarta.
Diskusi tersebut menghadirkan aktivis dan pengamat politik Rocky Gerung serta anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman sebagai host.
Dalam diskusi yang berlangsung dinamis ini, Rocky Gerung menyoroti beberapa isu strategis yang menjadi perhatian publik. Salah satu contohnya adalah Kasus pagar laut di Tangerang.
“Kasus pagar laut di Tangerang memperlihatkan tidak adanya koordinasi yang jelas di Labinet. Instruksi untuk membongkarnya memang sudah diberikan oleh Presiden dengan melibatkan TNI AL, tetapi hingga kini belum jelas siapa yang bertanggung jawab dan siapa yang harus dihukum,” ujarnya, Sabtu, 25 Januari 2025.
Rocky juga menyoroti persoalan proyek reklamasi di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang menurutnya memiliki potensi menimbulkan konflik.
“Publik menunggu kepastian, ingin tahu siapa pejabat yang harus bertanggung jawab, tapi sejauh ini tidak ada ketegasan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, dia juga menanggapi keputusan Indonesia untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Menurutnya, langkah ini dapat menjadi pilihan strategis jika bertujuan menjadikan Indonesia sebagai pemimpin, bukan sekadar anggota pasif. Namun, ia mengingatkan bahwa keputusan tersebut juga memiliki risiko besar.
“Bergabung dengan BRICS sebagai pilihan ideologis adalah hal yang baik, tapi kita harus siap dengan konsekuensinya. Indonesia bisa menghadapi sanksi dari negara-negara Barat karena ekonomi kita masih sangat bergantung pada dolar,” jelasnya.
“Indonesia bisa saja ingin kembali menjadi pemimpin di ASEAN seperti era Soeharto, tetapi untuk menjadi pemimpin global, kita harus memiliki visi yang lebih kuat,” tambahnya.
Rocky menilai, jika kebijakan bergabung dengan BRICS hanya dilakukan atas dasar pragmatisme tanpa landasan strategis yang kokoh, maka Indonesia berisiko mengalami ketidakpastian ekonomi yang berkepanjangan.
Ia juga menyoroti angka kemiskinan di Indonesia yang dinilai masih jauh dari realitas. Berdasarkan parameter Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia bisa mencapai 120 juta jiwa, sedangkan menurut data pemerintah, angka resmi hanya sekitar 19 juta orang dengan tiga juta di antaranya masuk kategori miskin ekstrem.
“Angka kemiskinan yang digunakan pemerintah masih mengacu pada parameter lama dari era Jokowi, yang menetapkan batas kemiskinan di angka Rp 350 ribu per bulan. Padahal, di negara seperti Filipina dan Timor Leste, batasannya sudah jauh lebih tinggi,” pungkasnya.
Diskusi yang diadakan Kaukus Nusantara Bersatu ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi berbagai elemen masyarakat untuk bersama-sama merumuskan gagasan dan masukan yang konstruktif bagi pemerintah.
Dengan kolaborasi dan keterbukaan, Kaukus optimistis bahwa kebijakan progresif yang berpihak kepada rakyat dapat terwujud. (*/red)
Posting Komentar